Cool Blue Outer Glow Pointer

Kamis, 10 November 2016

BABAD CIREBON

Wongdewek - (Disusun oleh PS. Sulendraningrat)



PRAKATA
Yang disuguhkan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan huruf pegon/ huruf Arab berbahasa Cirebon madya yang asli/ otentik. Semoga bermanfaat sebagai pegangan untuk menengah-nengahi Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon dari luar yang simpang siur sejare-jare akibat Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa yang telah dijajah lebih kurang 350 tahun lamanya. Semoga bermanfaat.


1.      NEGARA PAJAJARAN

Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, masyhur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi memiliki putra mahkota yang bernama Walangsungsang, dari permaisuri bernama Ratu Subanglarang. Walangsungsang mempunyai dua orang adik laki-laki dan perempuan, yaitu Rarasantang dan Sengara.
Suatu hari, Pangeran Walangsungsang duduk termenung setelah semalam bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang elok dan agung dan memberi wejangan agama mengenai agama Islam. Melihat putranya sedang duduk termenung, kemudian Prabu Siliwangi menghampiri dan menanyakan pada putranya. Walangsungsang kemudian menceritakan perihal mimpinya tersebut. Kemudian Prabu Siliwangi berkata pada putranya agar tidak terlalu memikirkan mimpi tersebut. Namun Walangsungsang tetap bersikeras ingin mendalami agama Islam. Karena dianggapnya sang putra menentang nasehat, Sang Prabu pun murka kemudian mengusir Pangeran Walangsungsang keluar kerajaan. Pangeran Walangsungsang pun pergi menuju arah Timur. Selang empat hari setelah kepergian kakaknya, Rarasantang yang merasa sedih akhirnya ikut menyusul sang kakak pergi.
Kepergian Rarasantang secara diam-diam membuat seisi kerajaan panik. Ratu Subanglarang menangis karena kedua anaknya pergi. Sang Prabu segera memanggil menghadap seluruh para putra sentara, patih, bupati, dan wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata, “Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putriku Dewi Rarasantang yang hilang dari kraton dan Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya”. Patih Argatala menjawab sandika. Ia segera keluar kraton dan mengumumkan kepada seluruh wadyabala di Pajajaran yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru mencari Putri Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang . Mereka takut dan tidak berani pulang sebelum mendapat karya.


2.      GUNUNG MARAAPI

Diceritakan, Pangeran Walangsungsang telah sampai di kaki gunung Maraapi (di Rajadesa, Ciamis Timur) sedang bersemedi, tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, dan menanyakan jatidiri Pangeran Walangsungsang. Pangeran Walangsungsang pun menjelaskan jatidirinya dan maksud kedatangannya. Setelah cukup lama berbincang, Sanghyang Danuwarsih kemudian mengajak Pangeran Walangsungsang ke kediamannya. Setelah sampai di kediamannya, Sanghyang Danuwarsih mengenalkan Pangeran Walangsungsang pada anaknya, yaitu Nyi Mas Indangayu. Eyang Danuwarsih sangat gembira bertemu dengan Pangeran Walangsungsang dan berniat menjodohkannya dengan anaknya. Keduanya menyetujui, dan dengan direstui oleh Sanghyang Danuwarsih, kemudian diselenggarakan acara pernikahan mereka, pada tahun 1442 M. Pangeran Walangsungsang pada waktu itu berusia 23 tahun.
Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada di gunung Tangkubanprahu, kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin dengan menggosok kakinya yang pada bengkak. Ia menangis sambil memanggil-manggil nama kakaknya. Tak lama kemudian datang seseorang yang bernama Nyi Indang Sukati di hadapannya dan berkata, “Wahai putri, engkau siapa dan apa yang engkau cari di sini sendirian tanpa kawan?” Sang Dewi Rarasantang menjawab, ”Eyang, hamba sesungguhnya putri Pajajaran dari Ibu Subanglarang. Rarasantang nama hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu”. Nyi Indang Sukati merasa kasihan, dan berkata “Engkau datanglah terlebih dahulu ke gunung Liwung, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk”. Rarasantang pun pamit melaksanakan anjuran Nyi Endang Sukati. Beberapa waktu kemudian, ia telah sampai di gunung Liwung dan bertemu dengan Ki Ajar Sakti, dan bertanya mengenai keberadaan kakaknya. Ki Ajar Sakti waspada penglihatannya, mengetahui maksud sang putri. Ia berkata, “Tuan Putri, kakak engkau Walangsungsang sudah mempunyai istri, Indang Ayu namanya, putri Sanghyang Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, sebaiknya engkau menyusul ke sana dan aku beri engkau nama Ratnaeling, kelak engkau akan mempunyai putra lelaki yang punjul sebuana”. Sang putrid mengucap terima kasih dan pamit menuju gunung Maraapi yang dimaksud oleh Ki Ajar Sakti.
Syahdan, Pangeran Walangsungsang yang sedang duduk berbincang dengan Sang Danuwarsih. Berkata Sang Danuwarsih, “Hai putraku Walangsungsang, terimalah cincin pusaka turunan dari Dipati Suryalaga sama turunan engkau. Ini wataknya cincin Ampal, kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi, hanya ini terimalah aji-aji dan kememayan (melumpuhkan), pengabaran (menurut), dan pekasih (pengasihan)”. Walangsungsang mengucap terima kasih sambil menerima semua pemberian sang ayahanda. Ketika mereka sedang duduk berbincang, tak lama kemudian datanglah sang Dewi Rarasantang dan bertemu dengan sang kakak setelah lama tak berjumpa. Pertemuan berlangsung mengharukan. Berkata Walangsungsang sambil menangis, “Duhai adikku, sungguh bahagia kakanda masih bisa bertemu dengan engkau. Apa sebabnya engkau menyusul, tidakkah engkau lebih senang di dalam kraton, dan engkau mendapat petunjuk jalan dari siapa?”
Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dari awal hingga akhir. Istri Pangeran Walangsungsang yaitu Nyi Indang Ayu menghampiri mereka dan bertanya pada suaminya. Menjawab sang pangeran, “Ini saudari kandungku seayah seibu, Rarasantang namanya”. Nyi Indang Ayu pun merangkul adik iparnya dengan perasaan haru.


3.      GUNUNG CIANGKUP

Setelah antara sebulan lamanya, Sang Danuwarsih berkata, “Wahai Walangsungsang, Indangayu dan Rarasantang, sekarang baik berguru kepada Sanghyang Nanggo di gunung Ciangkup, mudah-mudahan mendapat sihnya guru”. Mereka bertiga mematuhi perintah Kanjeng Rama, mengucap pamit dan menempuh perjalanan menuju gunung Ciangkup. Walngsungsang pun bertemu dengan Sanghyang Nanggo dan mengutarakan maksud kedatangannya. Sanghyang Nanggo menerima Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan memberi ilmu kanuragan seperti menghilang, kekuatan, kekebalan. Sang Nanggo juga memberikan sebilah golok pusaka para leluhur yang disebut Golokcabang. Walangsungsang mengucap terima kasih atas semua pemberian sang guru.


4.      GUNUNG KUMBANG

Sekian lama Pangeran Walangsungsang berguru di gunung Ciangkup, Sang Nanggo berkata, “Putraku Walangsungsang, sekarang baik engkau bergurulah lagi pada Sanghyang Naga di gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru”. Walangsungsang mematuhi perintah gurunya, ia beserta istri dan adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang dimaksud oleh sang guru. Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di hadapan Sanghyang Naga dan mengutarakan maksud kedatangan mereka. Sanghyang Naga menerima Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan memberikan ilmu kanuragan. Sang Naga berkata, “Dan ini pusaka yang tiga macam kepunyaan Juwata, terimalah dari sih pemberian dewa, ialah topi waring, kalau dipakai tidak terlihat oleh semua penglihatan, badong batok berwatak dianuti oleh siluman dan setan pada suka asih, umbul-umbul waring berwatak rahayu dari senjata musuh dan melemahkan musuh”. Walangsungsang menerima semua pemberian sang guru dan mengucapkan terima kasih, kemudian jimat yang warna tiga itu disimpan dalam cincin Ampal.


5.      GUNUNG CANGAK

Sanghyang Naga berkata, “Sekarang engkau bergurulah ke gunung Cangak, di situ engkau akan mendapat petunjuk perihal agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap”. Pangeran Walangsungsang mematuhi perintah gurunya, ia beserta istri dan adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang dimaksud oleh sang guru.
Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di gunung Cangak, dan ketika sedang berada di bawah pohon beringin besar, Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung bangau berseliweran, dan bermaksud mencari mana yang menjadi ratunya. Segera ia memakai topi waring dan mengeluarkan sebuah wadah yang berisi ikan kecil diletakkan di atas pohon. Karena ampuhnya aji penurutan Sang Nata, seekor bangau yang bertubuh lebih besar segera turun. Ikan yang ada dalam wadah pun dipatuknya. Walangsungsang segera menangkap leher sang Bangau dan mengancamnya dengan golok cabang. Sang Bangau memohon ampun dan berkata, “aku janji akan memberikan pusaka tiga macam yaitu panjang, pendil, dan bareng/bende”. Akhirnya sang Bangau dilepaskan, lalu ia berkata, “Hai manusia, susullah aku di puncak gunung ini yang berada di pohon beringin”. Walangsungsang segera menyusul dan berubahlah pohon beringin menjadi sebuah kraton yang besar dan megah. Walangsungsang dijamu di dalam kraton, kemudian datanglah Sanghyang  Luhung duduk sejajar.
Walangsungsang berkata, “Hai pendeta, siapakah anda yang bertemu di hadapan menjadikan terkejutnya hatiku?” Sanghyang Luhung menjawab, “Sanghyang Bangu namaku, yang membangun kayuwangan di gunung Cangak, sekarang aku hendak memenuhi janji memasrahkan jimat pusaka yang tiga macam: Piring panjang berwatak tidak diisi lagi akan mengisi sendiri lengkap dengan lauknya, Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa mencukupi kebutuhan banyak orang, Bareng/ bende wataknya keluar air banjir dan suaranya membingungkan musuh”. Pangeran Walangsungsang pun menerima pemberian tersebut dan berguru pada Sang Bangu beberapa lamanya.


*Sumber referensi : ajibratasenawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar