Belakangan ini satu berita bisa menimbulkan beragam cerita. Musibah Crane (alat berat) di Makkah dan Tragedi di Mina misalnya, bisa membuat banyak pemahaman. Satu media mewartakan fakta itu sebagai keteledoran pemerintah Arab Saudi. Satu media memberitakan sebagai kesalahan jamaah dari negara tertentu.
Menghadapi situasi demikian, sudah saatnya publik cerdas dalam membaca, terutama dalam membaca berita yang kemunculannya kadang tanpa harus kita cari, tiba-tiba datang lewat Whatsapp, email, twitter, dan sebagainya.
Cerdas membaca adalah bagaimana ketika seseorang memiliki kemampuan untuk menilai apakah berita itu murni (sebagaimana kaidah jurnalistik) atau justru tampak objektif namun sejatinya mengandung maksud-maksud terselubung dengan nuansa penuh propaganda bahkan agitatif.
Terutama ketika sebuah bacaan, dalam hal ini berita mengandung unsur propaganda (negatif).
“Anda harus menempatkan diri anda sebagai seorang hakim, bukan seseorang yang mudah percaya saja. Anda harus setuju atau tidak setuju. Anda harus punya kebebasan untuk menerima atau menolak kesimpulan-kesimpulan dalam bacaan itu,” ujar Kurt Kauffmann dalam bukunya The Brain Workers’ Handbook yang menegaskan bahwa seseorang mesti membaca secara kritis.
Hal ini diperkuat oleh analisis Dr Adian Husaini dalam buku terbarunya “LGBT di Indonesia Perkembangan dan Solusinya”, bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang melegalkan LGBT yang ke-21 dalam proses yang sangat cepat dan itu tentu didukung oleh pemberitaan di media yang mempropagandakan bahwa LGBT itu wujud dari kebebasan.
Sebagaimana diuraikan oleh Taufiq Yusuf Al-Wa’iy dalam bukunya “Ad-Da’wah Ilallah” bahwa pakar informasi telah mempelajari pengaruh sarana ini (berita) dari sudut pandang yang berbeda-beda dan dari sudut pemikiran yang bermacam-macam yang hasilnya menyebutkan bahwa rakyat suatu negara bisa memiliki perilaku yang sama atau mereka itu perasa, cepat terpengaruh, entah itu oleh warna-warna iklan dan tentu saja berita di media.
Yusuf Al-Wa’iy memberikan tiga saran kepada umat Islam untuk waspada terhadap berita, terutama yang mendiskreditikan umat Islam.
Pertama, yang berusaha membesar-besarkan
Membesar-besarkan atau mendramatisasi berita. Apakah media ingin menampilkan berita tentang dakwah, maka ia menampilkan dan menulisnya dengan judul besar untuk membungkam dan mengkerdilkan para aktivis, media sengaja menampilkan dan memblow up kesalahan aktivis yang kecil, sehingga tampak sebagai kesalahan besar dan sangat memalukan.
Bahkan terkadang media menyelenggarakan berbagai seminar, ceramah-ceramah, dan kegiatan-kegiatan untuk menyibukkan para aktivis dan menarik perhatian publik agar mengetahui keslaahan para aktivis (dakwah).
Kedua, menipu dengan menggunakan atau meminjam pernyataan orang lain.
Tradisi seperti ini sudah lazim dipakai kalangan media massa. Cara ini dipakai sesuai permintaan, di mana ketika suatu pemerintahan mendapat pujian atas kerja-kerjanya dan ingin kebusukannya tampak baik, maka bisa saja ia akan meminta media di negara asing yang pro dirinya (atau sengaja memanfaatkan media agar memuat berita baik tentang dirinya), kemudian media memberi penghargaan, pujian, dan sanjungan kepada kerja-kerja pemerintah.
Selanjutnya, pemerintah mengutip pujian itu dan menyebarkannya kepada masyarakat sebagai kesaksian yang tulus dan pengakuan dari pihak independen tentang kemuliaan kerjanya. Hal tersebut juga digunakan untuk merendahkan sebagian urusan atau untuk menakut-nakuti pihak lain.
Cara ini merupakan pengantar untuk agenda tertenu dan tipuan dengna sengaja. Karena itu (umat Islam) harus cermat terhadap strategi dan permainan tersebut.
Ketiga, pengalihan opini
Hal tersebut dilakukan dengan merekayasa sesuatu, menarik perhatian, membuat kekacauan atau fitnah dan menyibukkan orang dengan fitnah tersebut, serta melakukan sesuatu untuk menutupi pandangan masyarakat.
“Dan, sering kali yang menjadi korbannya adalah para aktivis atau dakwah (umat Islam). Karena itu para aktivis (umat Islam) harus cerdas dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya,” lanjut, Yusuf Al-Wa’iy.
Iapun berpesan agar umat Islam mengerti dan melakukan hal tersebut. Jika tidak, maka medan kehidupan ini akan dipenuhi oleh kejadian-kejadian mengerikan, pemikiran-pemikiran rancu, dan berbagai kepentingnan yang saling berbenturan yang pada akhirnya menjadikan umat Islam tak berdaya dan selalu menjadi objek empuk untuk dikelabuhi.
*sumber referensi : hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar