Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
WongDewek - DAN diantara perilaku seorang murid dalam berguru, hendaknya tidak
berguru kecuali kepada seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya
benar-benar kuat dan mendalam. Hal ini dimaksudkan agar dengan sang guru
yang ilmu syariatnya mendalam ini sang murid merasa cukup dan tidak
butuh berguru lagi kepada orang lain. Tuan Guru Syekh Muhammad
asy-Syanawi pernah memberitahuku, bahwa suatu ketika ia pernah berkata
kepada gurunya, Syekh Muhammad as-Surawi, “Guru, aku ingin mengunjungi
si guru (syekh) fulan.” Rupanya Tuan Guru tidak ingin muridnya mencari
guru lain, dan berkata dengan menampakkan kecemberutan di wajahnya,
‘Wahai Muhammad, bila engkau belum merasa cukup denganku, lalu bagaimana
engkau menjadikan aku sebagai gurumu?” Maka sejak saat itu, aku tidak
pernah lagi mengunjungi guru lain sampai beliau wafat.
Maka bisa diketahui bahwa orang yang sudah ditakdirkan untuk masuk ke
dalam tarekat dan diambil sumpahnya oleh seorang guru yang ilmu-ilmu
syariatnya kurang mendalam maka tidak ada salahnya ia berkunjung dan
berkumpul dengan guru lain, sebagaimana kondisi yang terjadi pada
sebagian besar para guru di zaman ini. Maka ungkapan Syekh Abu al-Qasim
al-Qusyairi, “Dianggap kurang baik seorang murid mengikuti madzhab lain
yang bukan madzhab gurunya. Akan tetapi ia hanya diperkenankan mengikuti
pada gurunya saja.” Ini jelas ditujukan untuk murid yang mendapatkan
guru yang benar-benar mendalami ilmu syariat secara sempurna. Maka tidak
ada jeleknya seorang murid mencari dan menisbatkan dirinya ke madzhab
lain yang bukan gurunya, bila gurunya tidak benar-benar mendalami ilmu
syariat, bahkan hal itu wajib ia lakukan.
Seorang Sufi Juga Seorang Yang Fakih
IMAM Ahmad bin Hanbal dengan kebesaran dan keagungannya ketika ia tidak
mampu menyelesaikan masalah, ia akan bertanya kepada sang sufi, Abu
Hamzah al-Baghdadi, “Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini wahai
sang sufi?” Maka apa yang dikatakan Abu Hamzah akan dijadikan pegangan.
Hal ini cukup menjadi catatan sejarah bagi para guru sufi. Demikian pula
dengan kisah al-Qadhi Ahmad bin Syuraih yang juga mengakui kelebihan
Abu al-Qasim al-Junaid, dimana ia juga mengikuti majelis halaqah
al-Junaid, dan ketika ditanya tentang ungkapan-ungkapan al-Junaid ia
tidak banyak berkomentar dan hanya mengatakan, “Aku tidak paham sedikit
pun apa yang ia katakan, akan tetapi serangan-serangan ungkapannya bukan
ucapan yang tidak berarti.”
Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata:
“Andaikan aku tahu bahwa di bawah kolong langit ini Allah memiliki ilmu
yang lebih mulia daripada ilmu kaum sufi ini tentu aku akan berangkat ke
sana.” Ia juga pernah berkata: “Tidak pernah ada ilmu yang turun dari
langit dan Allah memberi jalan kepada makhluk untuk pergi ke sana
kecuali Allah juga memberiku bagian pada ilmu tersebut.”
Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi —rahimahullah— berkata:
“Seluruh guru tarekat sufi telah membuat aturan, bahwa salah seorang dan
mereka tidak akan memimpin suatu tarekat sama sekali kecuali ia
mendalami ilmu syariat secara sempurna dan telah sampai pada tingkatan
kasyaf (tersingkap seluruh hijab). Dimana tingkatan ini sudah tidak
butuh lagi mencari dalil (argumentasi). Dan apa yang dilakukan oleh
murid untuk menisbatkan diri kepada orang lain (yang bukan kaum sufi)
dan membaca ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu kaum sufi hanyalah karena
ketidaktahuan si murid terhadap tingkatan spiritual mereka. Sebab
argumentasi kaum sufi lebih kuat dan valid daripada argumentasi kelompok
lain. Ini karena argumentasi mereka didukung dengan metode kasyaf. Dan
setiap ada seorang dari kaum sufi yang hidup di suatu kurun mesti para
ulama di kurun tersebut akan hormat dan tunduk pada si sufi tersebut dan
melakukan isyarat-isyaratnya. Mereka meminta kepada Si sufi untuk
membantu menghilangkan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Andaikan
bukan kesaksian para ulama sufi akan masalah-masalah yang menyuarakan
ketinggian kedudukan mereka, tentu masalahnya akan sebaliknya, dan tidak
seperti itu.” Kami telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar
dalam Kitab al-Qawa ‘Id ash-Shuftyyah al-Kubra. — Dan hanya Allah Yang
Mahatahu.
Bolehkah Murid Menjadikan Lebih Dari Seorang Guru ?
DIANTARA perilaku yang harus dilakukan seorang murid hendaknya hanya
mengambil dan menjadikan seorang guru. Maka ia tidak diperkenankan sama
sekali menjadikan dua orang guru. Sebab tarekat kaum sufi dibangun atas
dasar tauhid murni. Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi dalam al-Futuhat
al-Makkiyyah bab keseratus delapan puluh satu, menuturkan sebagai
berikut: “Perlu anda ketahui, bahwa seorang murid hanya diperkenankan
menjadikan seorang guru. Sebab hal itu lebih bisa menolongnya dalam
menempuh tarekat. Kami tidak pernah melihat seorang murid pun yang
sukses dalam menempuh tarekat di bawah bimbingan dua orang guru
(tarekat). Sebagaimana di alam ini tidak ada dua Tuhan, tidak ada
seorang mukalaf yang hidup diantara dua rasul, dan tidak ada seorang
perempuan yang menjadi istri dari dua orang suami, maka demikian pula
seorang murid tidak boleh mengambil dua orang guru.” Ini berlaku untuk
murid yang mengikat dirinya dengan seorang guru (tarekat) dengan tujuan
suluk menuju Allah. Adapun orang yang tidak mengikat dirinya dengan
seorang guru, tapi ia sekadar mencari berkah dari guru, maka orang
seperti yang terakhir ini tidak dilarang untuk berkumpul dengan guru
siapa pun.
Tuan Guru Syekh Ali al-Murshifi —rahimahullah— mengatakan: “Barangsiapa
diuji untuk bersahabat dengan dua orang guru atau lebih, maka hendaknya
menjadikan gurunya yang hakiki selalu berada di belahan hatinya,
disamping ia mencintai Rasulullah Saw. Sebab dia sebagai pengganti
Rasulullah Saw. dalam memberi nasihat kepada umatnya dan menunjukkan
mereka kejalan yang benar.”
Abu Yazid al-Bisthami pernah berkata: “Barang siapa tidak memiliki
seorang guru maka ia menyekutukan dalam tarekat, sedangkan orang yang
menyekutukan dalam tarekat gurunya adalah setan.”
Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— mengatakan: “Seseorang tidak akan mampu
suluk di tarekat kaum sufi tanpa seorang guru. Sebab perjalanan ini
menempuh kegaiban atau gaibnya kegaiban. Ibarat sebatang pohon apabila
tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang menanamnya maka tidak ada
seorang pun yang bakal memanfaatkan buahnya sekalipun tumbuh bersemi dan
daunnya rindang, bahkan bisa jadi tidak akan berbuah untuk selamanya.
Coba anda perhatikan wahai saudaraku, Tuan dari para rasul, Muhammad
Saw., bagaimana dengan jibril yang menjadi perantara antara beliau
dengan Tuhannya dalam menyampaikan wahyu. Dengan demikian anda tahu,
bahwa menjadikan seorang guru adalah suatu keharusan bagi murid yang
tidak bisa ditinggalkan.”
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan: “Sungguh aku telah mengambil tarekatku
ini dari guruku, antar orang ke orang.” Kemudian cukup jelas, bahwa
para salaf saleh dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’t-tabi’in
tidak mengikatkan diri dengan seorang guru tertentu, tapi bisa jadi
salah seorang dari mereka menjadikan lebih dari seratus orang guru. Ini
karena mereka adalah orang-orang yang bersih dari kotoran dan ketololan
nafsu, maka masing-masing orang dianggap orang yang sempurna yang tidak
butuh kepada orang yang membimbing perjalanannya. Tapi ketika “wabah
penyakit” ini semakin banyak dan mereka butuh disembuhkan, maka para
guru tarekat memerintah para murid untuk mengikatkan diri dengan seorang
guru, agar kondisi spiritual murid tidak kacau dan perjalanan yang
ditempuhnya tidak terlalu panjang. Maka pahamilah!
Diantara perilaku seorang murid hendaknya membuang seluruh keterkaitan
duniawi, dan hal ini hendaknya dijadikan modal utamanya. Sebab orang
yang memiliki keterkaitan duniawi akan sedikit sekali bisa berhasil,
karena keterkaitan tersebut akan menyeretnya mundur ke belakang. Oleh
karenanya mereka mengatakan: “Diantara syarat orang yang bertobat adalah
menjauhi teman-teman jahat, dimana mereka akan menjadi temannya dalam
melakukan maksiat sebelum ia bertobat. Sebab mendekat kepada mereka
barangkali bisa menyeretnya mundur ke belakang dengan melakukan
perbuatan yang sebelumnya ia sudah bertobat darinya.”
Imam al-Qusyairi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid wajib melakukan
kegiatan yang selalu mengosongkan hatinya dari segala kesibukan. Dan
diantara kesibukan-kesibukan yang sangat berat adalah berusaha keluar
dari harta yang ia miliki. Sebab dengan harta yang ada di tangannya itu
akan bisa berpaling dari jalan yang lurus (istiqamah), karena lemahnya
si murid. Sebenarnya tidak boleh ia menyimpan harta kecuali setelah ia
benar-benar sempurna dalam perjalanan tarekatnya.” Ia juga mengatakan:
“Para guru merasa berat dan tidak mampu menggandeng perjalanan seorang
murid yang memiliki keterkaitan dengan duniawi. Maka perjalanan mereka
dengan menggandeng murid ini sangat lemah dan lamban. Barangkali umurnya
telah habis sementara mereka belum bisa sampai pada tingkat
kesempurnaan yang ia inginkan.”
Sumber : Sufinews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar